Beranda | Artikel
Tegar di Atas Jalan Kebahagiaan (Bag. 2)
Senin, 24 April 2023

Mengenal Allah Ta’ala

Tentang kewajiban hamba untuk mengenal Rabbnya, renungkanlah firman Allah Ta’ala berikut,

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الأرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الأمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا

Allahlah yang telah menciptakan tujuh langit dan demikian pula dengan bumi. Perintah Allah berlaku di antara keduanya, agar kalian mengetahui bahwasanya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya ilmu Allah benar-benar meliputi segala sesuatu.” [1]

Maka, pada ayat ini, Allah Ta’ala menyampaikan kepada segenap hamba bahwa tujuan penciptaan langit dan bumi beserta segala ketetapan yang belaku di antara keduanya adalah agar hamba tersebut mengenal Allah. Rabb yang telah menciptakan dirinya beserta seluruh makhluk selainnya. Maka, sudah sepatutnya seorang hamba mencari tahu siapakah Allah dan seperti apa Dia Subhanahu Wa Ta’ala?

Pengetahuan umum tentang Allah, bisa diperoleh seorang hamba melalui tafakkur terhadap ayat-ayat kauniyah atau melalui ciptaan-ciptaan-Nya. Bahwasanya segala kerumitan, kompleksitas, dan keragaman yang ada pada makhluk, dari tingkatan atom, molekul, sel, organisme hidup, bumi, langit, dan seluruh alam semesta, menunjukkan bahwa keberadaan mereka tidak mungkin terjadi dengan sendirinya. Mereka tidak mungkin muncul secara tiba-tiba dan tidak mungkin menciptakan diri mereka sendiri. Pasti ada Intelligent Design (perancangan cerdas) di balik segala hal yang mengada. Ada Zat Yang Mahasempurna ilmu dan kuasanya yang telah menciptakan mereka. Dan bahwasanya Zat itu pasti tunggal dan Maha Esa (Al-Ahad). Karena jika ia berbilang, tentu para pencipta itu akan saling tanding menghasilkan ciptaan terbaik versi mereka masing-masing, dan terjadilah kehancuran dunia akibat peperangan mereka [2]. Namun, Mahasuci Allah dari yang demikian. Buktinya, dunia ini masih tegak tanpa cacat sedikit pun. Dia, Allah Ta’ala, sangat jauh dari apa yang disangkakan oleh manusia yang lemah dan terbatas daya nalarnya.

Adapun pengetahuan rinci tentang Allah, dan ini hanya didapatkan sebagian kecil saja, tentu harus diambil dari ayat-ayat qauliyah. Melalui apa yang Dia sampaikan sendiri kepada hamba-Nya melalui kitab-Nya. Yakni, melalui Al-Qur’an yang Mulia. Karena tidak ada yang lebih mengenal diri-Nya, kecuali Dia sendiri ‘Azza wa Jalla. Begitu juga, kabar tentang-Nya dapat diperoleh melalui sabda Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, yakni melalui hadis-hadis yang sahih. Karena dialah hamba yang paling dekat dengan-Nya dan beliau mendapatkan pengetahuan langsung tentang Rabb-Nya dari-Nya sendiri ‘Azza wa Jalla. Selain itu, makrifat tentang Allah ini harus diambil sesuai dengan  pemahaman para salaf, yakni para sahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in. Karena kepada merekalah Al-Qur’an turun dan kepada mereka jugalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berbicara secara langsung.

Di antara pengetahuan yang disarikan dari kedua sumber tersebut adalah bahwa Allah Ta’ala adalah Zat yang azali yang tidak bermula dan tidak berakhir. Dialah Al-Awwal dan Al-Akhir [3]. Di suatu masa, setelah menciptakan ‘Arsy sebagai makhluk pertama [4], kemudian Allah menciptakan sang pena dan memerintahkannya untuk menuliskan seluruh kejadian pada makhluk dari awal hingga akhir, di dalam sebuah kitab yang terjaga, lauhul mahfudz [5]. Lima puluh ribu tahun setelah itu, Allah kemudian menciptakan tujuh lapis langit beserta bumi dalam enam masa [6]. Begitu juga Allah ciptakan kursi, surga, neraka, malaikat, jin, manusia, hewan, dan seluruh yang ada. Dialah Allah, Rabb semesta alam. Segala sesuatu selain Dia adalah makhluk. Dan segala sesuatu selain dia adalah fana.

Dialah Zat yang memiliki nama-nama yang terindah (asma’ul husna) [7] dan sifat-sifat yang Mahasempurna dan Mahatinggi (sifatul ‘ulya) [8]. Dan inilah poros, sumber, serta sebab asal muasal segala sesuatu. Seluruh ciptaan dan kejadian yang menimpa makhluk adalah pengejawantahan dari seluruh sifat-sifat yang Dia Subhanahu wa Ta’ala miliki [9].

Dialah Yang Maha Pencipta (Al-Khaliq), maka seluruh makhluk menjadi ada. Dialah yang Maha Menguasai (Al-Qadir) dan Maha Mengatur lagi Maha Memelihara (Al-Muhaimin), sampai-sampai matahari, bumi, bulan, dan planet-planet yang beredar di orbitnya serta berputar pada porosnya, tidak bergeser sedikitpun darinya. Semuanya atas pengaturan dan kuasa Yang Maha Merajai (Al-Malik). Dialah Ar-Rahman (Yang Maha Pengasih) dan Ar-Rahim (Yang Maha Penyayang) yang kebaikan-kebaikan-Nya dinantikan seluruh makhluk, baik ikan-ikan di kedalaman lautan, burung-burung di awang-awang, hingga semut-semut yang berbiak di bawah permukaan tanah.

Dialah Al-Bashir (Yang Maha Melihat), As-Sami’ (Yang Maha Mendengar), dan Al-Mujib (Yang Maha Mengabulkan) yang mengijabah doa hamba-Nya yang berada di tiga lapis kegelapan [10]. Dialah Al-Ghafur (Yang Maha Pengampun) dan At-Tawwab (Maha Menerima tobat) yang kepada-Nya manusia yang lengah dan lemah bermaksiat. Bahkan, kegembiraan Allah terhadap tobat hambanya melebihi kegembiraan seorang pengelana yang kehilangan tunggangannya, kemudian tiba-tiba tunggangan itu muncul di hadapannya setelah ia kehilangan harapan dan berputus asa [11]. Seorang hamba yang datang mendekat kepada-Nya sambil berjalan, maka Dia akan menghampiri dan menyambut hamba-Nya dalam keadaan berlari [12].

Sungguh Dialah Rabb Yang Mahabaik (Al-Barr) yang kebaikannya tidak bisa Anda hitung dan tidak bisa pula Anda rinci. Dialah Yang Mahakaya (Al-Ghani) yang tidak membutuhkan rezeki, ibadah, pujian, dan ketaatan hamba-Nya. Bahkan, merekalah yang butuh kepada rahmat dan kasih sayang-Nya. Dan, jika seluruh makhluk berkumpul untuk menghitung nikmat yang diberikan kepada mereka, niscaya mereka tidak akan mampu menghitungnya [13].

Begitu pula pengetahuan dan ilmu Allah, sempurna dari segala sisinya. Dialah Al-‘Alim (Yang Maha Mengetahui) dan Al-Khabir (Yang Maha Mengetahui hingga yang rinci) yang ilmunya mencakup yang nampak maupun yang tersembunyi, serta yang global maupun yang detail. Mengetahui apa yang telah terjadi, yang sedang terjadi, dan yang akan terjadi. Bahkan ia mengetahui segala yang tidak terjadi jika ia terjadi. Pengetahuannya meliputi segala hal dan tidak berbatas [14].

Sungguh, Dialah Al-Kabir (Yang Mahabesar). Ia ciptakan manusia dari tanah dan mani yang hina [15], kemudian ia tempatkan mereka sebagai khalifah di atas permukaan bumi [16], di langit lapis pertama. Kemudian, langit pertama ini diliputi oleh langit kedua, yang jarak antara keduanya sejauh 500 tahun perjalanan. Begitu juga langit ketiga, langit keempat, hingga langit ketujuh, saling melingkupi satu sama lain, yang jaraknya masing-masing juga 500 tahun perjalanan. Kemudian tujuh langit ini diliputi oleh kursi Allah [17]. Yang perbandingannya seperti cincin dilemparkan di atas padang pasir.

Begitu juga kursi Allah diliputi oleh ‘Arsy-Nya, yang perbandingannya juga seperti cincin yang dilemparkan di atas padang pasir [18]. ‘Arsy inilah makhluk-Nya yang paling besar, yang dipikul oleh delapan malaikat [19]. Dan salah satu malaikat pemikul ‘Arsy, jarak antara daging telinga dengan pundaknya sejauh tujuh ratus tahun perjalanan [20]. Dan Allah tentu jauh lebih besar dibandingkan semua ini. Dan ia ber-istiwa di atas ‘Arsy [21], di atas semua makhluk-Nya. Dialah  Allah, Rabb Yang Mahaagung lagi Mahabesar. Sementara Anda hanyalah debu dan atom di antara makhluk-makhluk-Nya yang ada.

Maka, apa yang baru Anda baca, berkisar pada dua dari tiga jenis tauhid yang biasa dibicarakan oleh para ulama, yakni tauhid asma wa shifat dan tauhid rububiyah. Pengenalan seorang hamba pada dua jenis tauhid ini berbanding lurus dengan kecintaan dan ketundukannya kepada Rabb-Nya. Semakin ia mengenal Rabb-Nya, maka ia akan semakin taat, semakin khusyuk, semakin berharap, dan semakin cinta kepada-Nya, sekaligus semakin takut akan murka dan siksa-Nya. Sikap ini kemudian akan melahirkan penghambaan diri yang sejati berupa ibadah kepada Allah saja, yang merupakan tujuan kedua penciptaan seorang hamba.

Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3

 ***

Disarikan pada Malam 20 Ramadhan 1444 H

Di bawah langit kota Yogyakarta,

Oleh Al-Faqir yang membutuhkan Rahmat dan ampunan dari Rabb-Nya

Penulis: Sudarmono Ahmad Tahir, S.Si., M.Biotech.


Artikel asli: https://muslim.or.id/84463-tegar-di-atas-jalan-kebahagiaan-bag-2.html